Kedua, dengan potensi munculnya perusahaan OS yang ala kadarnya tersebut maka perusahaan penyedia pekerjaan (user) akan berpotensi kena akibatnya akan digugat oleh pekerja OS karena ketidakpastian perusahaan OS yang menjadi mitranya.
Ketiga, proses evaluasi dan pengawasan ketenagakerjaan akan dibatasi sehingga mendorong percepatan ketidakpatuhan pengusaha OS terhadap ketentuan ketenagakerjaan yang ada. Saat ini saja pengawasan ketenagakerjaan masih sangat lemah, apalagi dengan ketentuan baru ini, akan semakin paripurnalah kelemahan pengawasan ketenagakerjaan kita.
Keempat, akibat dari keseluruhan tersebut maka pekerja/buruh menjadi korban paripurna di perusahaan OS.
Menurut Timboel, seharusnya Menteri Ketenagakerjaan membuat regulasi yang memastikan perusahaan OS menjadi profesional dan berkualitas sehingga ekosistem ketenagakerjaan di perusahaan OS menjadi baik. “Permenaker Nomor 11 Tahun 2019 ini merupakan kado kemerdekaan dari Kemnaker RI kepada perusahaan OS, yang diberikan kemerdekaan lebih merdeka lagi,” kata dia.
Oleh karena itu, Timboel meminta agar Permenaker baru ini dikaji ulang dengan pembahasan yang melibatkan juga serikat pekerja (SP)/ serikat buruh (SB), sehingga Permenaker yang baru tersebut mampu mewujudkan sumber daya manusia (SDM) unggul dan Indonesia maju.
Dengan Permenaker tersebut, proses perizinan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan perusahaan pemborongan, selanjutnya disebut perusahaan outsorcing (OS) yang dilakukan secara elektronik atau via online single submission adalah hal yang baik, sehingga proses perizinan manual benar-benar diminimalisasi. “Saya kira kemajuan teknologi memang harus berdampak positif terhadap proses perizinan yang lebih baik,” kata Timboel.
Sumber TVP di Kemnaker mengatakan, Permenaker tersebut diterbitkan Menaker patut diduga ada pihak tertentu yang menyuap Kemnaker. “Masa Permenaker yang merugikan itu terbit. Ya patut diduga Menaker disuap,” kata sumber yang enggan menyebutkan namanya itu.
Menurut Timboel, ada beberapa hal yang perlu dikritisi di Permenaker yang baru ini, yang memberikan kemudahan berlebihan untuk proses perizinan perusahaan OS, yaitu, pertama, dihapuskannya ketentuan draft perjanjian kerja antara perusahaan OS dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya sebagi syarat pendaftaran perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan (user) dengan perusahaan OS, yaitu di Pasal 20 Permenaker Nomor 11 tahun 2019, yang di Permenaker sebelumnya ada, menjadi celah bagi perusahaan OS untuk tidak melakukan perjanjian kerja dengan pekerja/buruhnya.
Menurut Timboel, adanya ketentuan tentang draft ini menjadi langkah awal bagi Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) untuk meriview draft tersebut agar tidak ada pasal yang melanggar. Faktanya saat ini banyak pekerja yang dipekerjakan tanpa perjanjian kerja, dan bila ini dihapuskan maka potensi terjadi pelanggaran semakin massif. Pekerja yang akan menjadi korban.
Kedua, Permenaker yang baru ini lebih menghaluskan sanksi yang diberikan. Bila di Permenaker yang lama dikenakan sanksi pencabutan izin operasional maka sanksi di Permenaker yang baru ini adalah sanksi administratif yaitu teguran tertulis yang dilakukan sebanyak dua kali, dan pembekuan kegiatan usaha.
Pasal 23 Permenaker yang lama, proses pencabutan izin operasional menjadi kewenangan Dinas Ketenagakerjaaan (Disnaker) Propinsi secara langsung namun pada ketentuan yang baru proses sanksinya melalui sanksi administratif yaitu teguran tertulis yang dilakukan sebanyak dua kali oleh Disnaker propinsi, dan pembekuan kegiatan usaha oleh Menaker RI. Disnaker propinsi tidak berhak lagi melakukan pencabutan izin operasional, karena itu sudah menjadi kewenangan Menaker.
Selain itu, membaca perubahan di Pasal 23, juga mengubah pengenaan sanksi secara lokasi bukan institusi perusahaan OS secara keseluruhan. Hal ini bisa dilihat di Pasal 23 C yang menyatakan pembekuan kegiatan usaha untuk waktu tertentu dan di wilayah terjadinya pelanggaran.
Jadi sifatnya terlokalisir, padahal pelanggaran yang terjadi biasanya akibat keputusan direksi perusahaan OS, bukan keputusan manager lokal.
Pengalihan kewenangan pemberian sanksi dan melokalisasi penerapan sanksi akan berdampak pada proses pemberian sanksi menjadi lebih lama dan membuka peluang terjadinya ketidakpastian hukum.
Ketiga, di Pasal 24 Permenaker yang baru, ketentuan berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) dihapus dan diganti hanya dengan badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak spesifik berbentuk PT.
Demikian juga ketentuan-ketentuan lainnya seperti memiliki tanda daftar perusahaan; memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan; memiliki izin operasional; mempunyai kantor dan alamat tetap; dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan, dihapus di ketentuan yang baru. Tentunya tidak diwajibkan hal-hal tersebut di atas akan membuka peluang pengelolaan perusahaan OS dilakukan sekadarnya saja seperti oleh sekelompok pensiunan di sebuah perusahaan.
Keempat, Pasal 25 di Permenaker baru memastikan izin usaha perusahaan OS berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Bila di Permenaker yang lama dimana izinnya dikeluarkan Disnaker propinsi, izin operasionalnya hanya berlaku di kabupaten/kota di wilayah propinsi tersebut. Dengan ketentuan baru ini maka Disnaker propinsi akan kehilangan kewenangannya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap perusahaan OS tersebut.
Kelima, Pasal 26 di Permenaker lama yang mensyaratkan izin operasional berlaku tiga tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama dihapuskan, dan di Permenaker yang baru dinyatakan izin usaha berlaku selama perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menjalankan usaha.
Tentunya dengan dihilangkannya masa berlaku izin ini maka proses evaluasi kinerja perusahaan OS akan tidak ada lagi, padahal evaluasi kinerja perusahaan OS menjadi syarat disetujui atau ditolaknya permohonan izin yang baru, seperti diatur di Pasal 26 yang dihapus tersebut. Penghapusan jangka waktu ini melebihi kebiasaan proses perizinan yang biasa selama ini terjadi, bukankah SIUP, TDP, dan ketentuan lain ada masa waktunya.
Keenam, terkait isi Pasal 27 ayat (3), di ketentuan lama menyatakan “Dalam hal perjanjian kerja tidak dicatatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi mencabut izin operasional berdasarkan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, namun di Permenaker yang baru hal ini dihapuskan sehingga pelanggaran pencatatan perjanjian kerja tidak ada lagi sanksinya.
Penghapusan sanksi izin operasional tersebut akan berpotensi menyuburkan pelanggaran kewajiban mencatat perjanjian kerja ke instansi ketenagakerjaan. Dan hal ini tentunya akan menyulitkan proses pengawasan dan akhirnya merugikan pekerja lagi. [Sumber :Topvoxpopuli.com /TVP/Edi Hardum]